Be a Fighter!
Maret 20, 2014
Lagi-lagi, saya membuka dan membaca catatan-catatan lama saya yang ada di laptop. Dan saya nemu sebuah sebuah tulisan yang membuat saya senyum-senyum sendiri saat membacanya. Mau tau itu tulisan apa? hehe. Itu adalah sebuah tulisan yang saya buat untuk tugas matakuliah menulis kreatif di semester 4. Tulisan ini, kata penulisnya sih berupa cerpen, tapi setelah dibaca, kok malah seperti sebuah catatan perjalanan hidup penulisnya. hahaha. Enggak juga sih. Karena ini cerpen, jadinya ya tetep ditambahkan bumbu ini dan itu biar lebih sedap.
Setelah membaca ulang cerpen ini, saya menyadari bahwa Merpati Putih begitu menginspirasi saya untuk menulis cerpen ini. Sebagian besar materi cerita dalam cerpen ini pun berasal dari pengalaman saya selama bergabung di Merpati Putih. Entah itu, berupa pengalaman ketika peserta latihan harus lari 2 putaran boulevard dalam waktu 8 menit setiap kali latihan rutin, ataupun perjalanan menyusuri Gunung Butak sampai ke Parangkusumo. Bahkan, cerita utama di sini terinspirasi dari kisah beberapa anak MP yang tak kunjung lulus kuliah karna terlalu cinta dengan perguruan. Hahaha. Peace! (^__^)V Saya juga sadar kok kalau sekarang saya udah semester 8. hehe.
Inspirasi saya untuk menulis memang seringkali berawal dari pengalaman-pengalaman yang saya alami, terkadang pengalaman teman di sekitar saya juga sih, yang sering menceritakannya lewat obrolan-obrolan. Jadi, jangan heran kalau saya seringkali diam saat kalian ngobrol ini dan itu. Saya tetap mendengarkan sembari mengamati kalian. Saya merekam dengan baik setiap hal yang kalian perbincangkan. hahaha.
Oke. Langsung saja baca sendiri cerpennya. Kalau mau. hahaha. Dikomentari juga boleh, karena saya yakin cerpen ini masih punya banyak kekurangan di mana-mana. Ya wajarlah, dulu bikinnya aja pake sistem kebut semalam. hahaha.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Be a Fighter!
“Yudi! Bangun, Di. Sudah jam setengah enam,” teriak ibu kesal,
membangunkanku.
“Bentar lagi, Bu,” sahutku malas.
“Cepat, bangun! Kamu belum sholat shubuh.” Lagi-lagi ibu menarik
selimutku demi membangunkanku.
Suasana pagi ini memang sangat nyaman untuk kembali berselimut dan
tidur. Hujan lebat yang mengguyur kota Jogja pagi ini membuatku semakin tidak
mau lepas dari selimutku. Akan tetapi, karena selalu diteriaki ibuku, aku pun
dengan sedikit terpaksa akhirnya bangun juga, lalu bergegas ke kamar mandi dan
mengambil air wudhu, lalu sholat shubuh. Setelah sholat shubuh, seperti
biasanya, aku tidur lagi karena hari ini adalah hari Sabtu. Bagiku, hari Sabtu
adalah hari paling tenang sedunia karena di hari Sabtu lah, aku dapat melakukan
apapun yang aku sukai, tanpa terbebani dengan rutinitas kegiatan kuliah.
Tiba-tiba handphone-ku berdering keras, memutarkan ringtone yang
sontak membuatku terbangun dari tidurku. Ku tengok jam dinding yang ada di
kamarku.
“Sudah jam 8 pagi rupanya,” batinku sembari bangun dari tempat
tidurku.
Aku teringat pagi ini ada latihan tambahan bersama mas Danang di
rumahnya. Mas Danang adalah seniorku sekaligus pelatih di perguruan pencak
silat yang aku ikuti, sebuah perguruan pencak silat asli Jogja, daerah
kelahiranku. Tak terasa empat tahun sudah aku bergabung bersama perguruan ini.
Setelah selesai bersiap-siap, aku menuju ke arah dapur. Kulihat ibuku
baru saja selesai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Sembari tersenyum, aku
langsung menghampiri ibuku.
“Pagi, Bu,” salamku padanya.
“Tumben, jam segini udah bangun?” ucapnya.
“Yah, Ibu. Giliran liat anaknya bangun pagi dibilangin kaya gitu.”
“Yaa, gak biasa aja kamu bangun pagi, padahal kan sekarang hari Sabtu.
Kuliahmu libur tho?” tanyanya memastikan.
“Iyaa sih libur, tapi aku ada acara, Bu.”
“Emang mau ke mana?” tanyanya kembali padaku.
“Mau ke rumah Mas Danang, Bu.”
“Ngapain?” Tiba-tiba bapak datang menghampiri sembari melontarkan
pertanyaan itu padaku.
“Ada latihan tambahan, Pak,” jawabku padanya.
“Kamu ini kalau latihan silat semangat sekali, tapi kalau ngerjain
skripsi gak ada semangatnya sama sekali,” sindir bapak padaku.
“Aku mau ada tanding lagi, Pak,” jawabku.
“Tanding-tanding terus, kapan mulai ngerjain skripsinya?” kembali
ia menyindirku.
Aku hanya diam sambil melemparkan senyum nakal padanya. Aku sadar
kalau saat ini aku sudah menginjak semester 8. Kuliahku sungguh keteteran karena
waktuku banyak tersita untuk latihan setiap harinya. Tapi, saat ini, aku
sungguh harus berfokus di pencak silat, karena aku harus mewakili universitasku
dalam kejurnas di Jakarta yang akan diadakan empat bulan ke depan.
Selesai sarapan, aku langsung berpamitan. Kucium tangan bapak dan ibu.
Lalu bergegas dengan motorku menuju rumah Mas Danang yang berada di Jakal, yang
lokasinya tidak begitu jauh dari rumahku. Sesampainya di sana, kulihat beberapa
teman sedang berlatih sendiri. Setelah memarkirkan motor, aku langsung
bergabung dengan mereka. Setelah semua berkumpul, kami mengambil sikap doa
dengan menempelkan kedua telapak tangan dan meletakkannya di depan dada.
Kemudian, kami melanjutkan dengan peregangan dan juga lari dua putaran di
sekitar rumah mas Danang. Lari merupakan salah satu ritual wajib yang harus
kami lakukan sebelum berlatih karena dengan terbiasa berlari, stamina kita akan
semakin meningkat karena telah terbiasa.
“Ayo, siap lari 2 putaran, 8 menit yaa,” ucap Mas Danang.
Kami semua pun segera berlari, melewati jalan yang masih berupa
tanah yang ditumbuhi beberapa rumput kecil. Tanah yang masih basah karena hujan
tadi pagi membuat telapak kakiku merasakan dinginnya tanah yang masih lembab
ini.
Dua putaran sudah aku berlari, bulir keringat sudah mulai membasahi
muka dan badanku. Sesampainya kembali di rumah mas Danang, aku langsung kembali
melakukan peregangan. Kulihat beberapa teman yang tadi tertinggal di belakang.
Karena melebihi batas waktu, mereka mendapatkan bonus 20x3, yaitu 20x push
up, 20x sit up, dan 20x back up. Ya, memang seperti inilah
kami dilatih. Kami dilatih agar memiliki stamina yang bagus. Dengan latihan
yang diadakan secara rutin, kami diharapkan memiliki stamina yang semakin
meningkat dari waktu ke waktu.
Pada latihan kali ini kami terus berlatih untuk meningkatkan
stamina, power, teknik, serta kelincahan gerak dalam menguasai
pertandingan. Sebagai senior di perguruan ini, Mas Danang tak pernah pelit
membagi pengalaman kepada yang lain, terutama demi kemajuan perguruan ini.
Latihan hari ini pun selesai sudah. Tiba-tiba seorang temanku
datang menghampiriku.
“Mas Yudi, kapan wisudanya?” tanyanya padaku.
Aku terkejut dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan padaku.
Pertanyaan yang begitu menyindirku.
“Hehe.. bentar lagi juga wisuda kok,” jawabku sembari bercanda.
“Emang skripsinya udah selesai, Mas?” tanyanya lagi padaku.
“Belum sih, aku masih mau buat proposal baru. Proposal yang
terakhir kemarin ditolak mentah-mentah oleh pembimbingku.”
“Yaah, mas Yudi, nih. Keren sih keren bisa terpilih mewakili universitas
di Kejurnas nanti. Tapi kok skripsinya gak kelar-kelar, Mas? Hehe..” ucapnya
sambil tertawa nakal.
“Yah, mau gimana lagi, gak usah buru-buru pengen lulus laah, santai
aja,” tanggapku.
Aku tetap melemparkan senyum dan candaan padanya, walau sebenarnya
dalam hati ada rasa kecewa pada diri sendiri yang belum bisa menyelesaikan
skripsiku. Ah, bahkan aku belum memulainya.
--
Hari-hari berikutnya, hampir setiap sore aku menghabiskan waktuku
untuk berlatih tambahan. Sore ini, aku kembali pamit pada bapak dan ibu untuk
mengikuti latihan tambahan. Latihan kali ini bertempat di gelanggang mahasiswa
universitasku.
“Kamu mau ke mana lagi, Di?” tanya bapak padaku.
“Mau latihan silat lagi, Pak.” Jawabku.
“Silat lagi, silat lagi. Kamu ini kapan bisa lulus, kalau selalu
sibuk di silat terus? Bapak ini sudah capek mengurusi kamu untuk bisa sekolah
tinggi-tinggi, tapi nyatanya kamu belum bisa juga lulus sampai sekarang?”
“Terus bapak maunya gimana?” tanyaku padanya.
“Yaa, Bapak pengen kamu ini cepat lulus kemudian bantu adik-adikmu
untuk sekolah sampai tinggi juga. Buat apa sih kamu latian silat setiap hari?
Padahal skripsimu saja keteteran.”
“Pak, aku ini bakal mewakili universitasku untuk kejuaraan, harusnya
Bapak bangga lah punya anak sepertiku,” ucapku padanya.
“Bangga bagaimana? Kamu ini sudah semester 8, tapi belum bisa lulus
juga. Kalau semester ini kamu belum bisa lulus, bapak sungguh tidak tahu,
apakah masih bisa membiayai kuliahmu atau tidak. Bulan depan Bapak pensiun, Di.
Kamu harus cepat lulus dan membantu biaya pendidikan adik-adikmu.”
“Iyaa. Aku tahu itu, Pak.
Tapi untuk saat ini, aku sungguh tidak bisa begitu saja meninggalkan pencak
silat untuk menyelesaikan skripsiku. Aku harus berlatih agar bisa menang, Pak.
Aku harap Bapak mengerti.”
“Ya sudahlah, terserah kamu!” Jawab bapak dengan nada marah dan
kesal.
Aku langsung pergi dengan segenap perasaan kesal karena bapak yang
terus memaksaku untuk cepat menyelesaikan skripsi dan lulus. Aku sadar, kalau
aku masih punya adik-adik yang harus aku bantu. Tapi, untuk saat ini, aku sungguh
belum bisa membantu mereka. Aku masih harus berjuang untuk kejuaraan nanti.
Dalam hati aku bertekad, “Kejuaraan kali ini aku harus menang.”
Desakan dari Bapak yang mendorongku untuk cepat lulus seringkali
menghantui pikiranku. Seringkali aku tak fokus saat berlatih karena memikirkan
masalah ini. Bulan depan bapak akan pensiun. Nanti aku harus berjuang lebih
keras untuk membiayai kuliahku jika aku tak kunjung lulus.
--
Seusai latihan, aku kembali pulang ke rumah. Dengan muka suram, aku
langsung menuju ke kamarku. Kemudian kudengar suara ibu memanggilku.
“Yudi,” panggil ibu, “Ibu boleh masuk?”
“Iyaa. Masuk aja, Bu.”
“Gimana tadi latihan silatnya?” tanyanya padaku.
“Biasa aja, Bu.” Jawabku tak bersemangat.
“Tadi sore, bapak marah lagi ya sama kamu?”
“Gak tau, Bu. Bapak selalu mendesak buat cepat-cepat lulus terus.
Aku bosan mendengarnya.”
“Maksud bapakmu itu sebenarnya baik, Di. Dia itu ingin kamu jadi
orang yang berguna dan bisa membantu adik-adikmu. Kamu sudah tahu kan, kalau
bulan depan bapakmu itu akan pensiun?”
“Iyaa. Aku tahu, Bu. Tapi seharusnya bapak tidak begitu mudahnya
menyuruhku untuk berhenti dari pencak silat dan fokus ke skripsiku.”
“Iyaa, Ibu ngerti. Tapi kamu juga harus bisa membagi waktumu dengan
baik, Di. Ibu tahu kamu sangat suka dengan kegiatan di pencak silat. Tapi
skripsimu kalau bisa jangan sampai keteteran gitu. Bapak juga sudah tua.
Mungkin dia sudah merasa lelah. Dia menaruh harapan besar padamu, Di. Sebagai
anak sulung, kamu masih punya adik-adik yang harus kamu bantu.”
“Iyaa, Bu. Aku tahu itu.”
“Ya sudah. Ayo cepat bersihkan dirimu, waktu sholat maghrib sudah
dari tadi.”
“Iyaa, Bu,” jawabku seraya menganggukkan kepala.
--
Tak terasa, sebulan sudah waktu berlalu. Mulai hari ini bapak telah
resmi pensiun dari pekerjaannya. Aku masih mengingat perkataan bapak waktu itu.
Bapak yang terus mendesakku untuk segera lulus. Aku masih terus memikirkan
perkataannya saat itu. Akan tetapi, di semester ini, aku sungguh belum bisa memenuhi
keinginan bapak untuk bisa lulus di semester ini. Aku sungguh telah
mengecewakannya.
Saat akan kembali berangkat untuk latihan, kulihat bapak sedang
duduk di kursi ruang tengah sembari menonton televisi bersama ibu dan
adik-adikku. Aku pamit pada mereka. Kembali kucium tangan bapak dan ibuku.
“Maafkan aku, Pak,” ucapku dalam hati, saat kucium tangan ayahku.
Ayahku hanya melemparkan senyum kecil padaku. Lalu, kucium tangan ibuku
dan berpamitan padanya. Aku pun meninggalkan rumah dan kembali menuju tempat
latihan.
--
Seusai latihan, aku berniat untuk meminta saran pada Mas Danang.
Bagiku, mas Danang sudah seperti sosok kakak. Ia selalu memberikan saran-saran
bijak setiap kali aku mempunyai masalah. Ia adalah pendengar yang baik, yang
selalu mau mendengarkan curhatan-curhatanku.
“Nopo, Di? Kowe arep cerito opo?”[1]
tanyanya sambil tersenyum padaku.
“Piye yo Mas. Bapakku ki pengen aku cepat lulus, tapi aku
gak lulus-lulus, skripsi wae belum rampung, Mas.”[2]
Jawabku.
“Yo, berarti kamu belum bisa mengatur waktu dengan baik, Di,”
tanggapnya, “Kamu semester berapa tho sekarang? Delapan ya?”
“Iya, Mas. Aku wis semester delapan. Mestinya sih aku lulus
semester sekarang, tapi belum bisa, Mas.”
“Lha kenapa belum bisa? Yo, ndang digarap skripsine!”[3]
“Iya mas, masih dalam proses, hehehe.”
“Yang namanya orang tua itu, Di, wajar kalau pengen anaknya cepet
lulus. Kamu kan anak sulung tho? Pasti bapakmu iku naruh harapan
besar sama kamu, Di.”
“Iyaa, mas Danang. Tapi yang jadi masalahnya itu, sekarang bapak
udah pensiun. Mulai semester depan mungkin bapak gak bisa lagi membiayai
kuliahku, Mas. Aku mesti nyari kerjaan buat bayarin uang kuliahku sendiri.”
“Lha, itu kamu udah tahu sendiri solusinya.”
“Yaa tapi kan aku masih belum tau, Mas, mau kerja apaan.
Sekarang-sekarang aja kan sibuk latihan silat terus tiap hari.”
“Yowis, ndang luru gawean![4]
Di jogja ada banyak tho yang butuh part-timer? Nah, kamu tinggal
cari aja yang waktunya sesuai sama kamu,” sarannya.
“Iya, Mas.”
“Yowis, ayo magriban sek.”[5]
“Iya, Mas.”
Berbicara dengan mas Danang memang selalu membuatku lebih merasa
tenang, walau tidak banyak saran yang ia berikan. Tetapi, dengan mau
mendengarkan sedikit ceritaku, aku sudah merasa senang dan aku bisa merasa
lebih lega.
--
Kesokan harinya, aku mencoba mencari-cari informasi tentang kerja part-time
di sekitar Jogja. Setelah mendapatkan informasi dari beberapa teman, akhirnya
aku mendapat satu pekerjaan yang cocok untukku. Menjadi penjaga warnet. Ya, itu
pekerjaan yang paling cocok untukku saat ini.
Setiap selesai latihan silat, aku menghabiskan waktuku untuk
bekerja menjaga warnet dari jam 7 malam sampai jam 2 dini hari. Hasil yang
didapatkan memang tidak seberapa, tapi itu cukup membantu mencukupi
keperluanku. Sebagian besar dari gajiku aku tabungkan untuk membayar biaya
kuliah. Mulai saat ini, aku harus bisa mandiri dan melakukan semua ini dengan
ikhlas dan tetap semangat.
Sumbangsihku tak berarti, namun keikhlasanku nyata.
Layaknya slogan perguruan pencak silat ini, aku ingin membantu
adik-adikku dan membahagiakan kedua orang tuaku. Mulai saat ini, aku akan
berjuang melakukan semua ini dengan penuh semangat, berjuang menyelesaikan
skripsiku, sembari terus berlatih dan mempersiapkan diri untuk kejuaraan.
Melakukan dengan sepenuh hati dan ikhlas agar orang tuaku bangga terhadapku.
--
Hari yang di nanti-nanti akhirnya datang juga. Pagi ini aku berpamitan
pada bapak dan ibu. Aku akan berangkat ke Jakarta pagi ini, berjuang mewakili
universitasku di kejurnas tahun ini.
“Pak, Bu. Aku pamit yaa. Doakan aku.” Kucium tangan kedua
orangtuaku.
“Iyaa, sukses yaa, Nak. Kamu harus menang. Buat Bapak bangga dengan
prestasimu!” ucap bapak.
“Iya, Pak. Aku akan buat bapak bangga dengan Yudi,” ucapku.
Tak kusangka, bapak mendukungku. Bapak yang selalu marah setiap
kali aku sibuk dengan latihan silat kini memberikan dukungan padaku. Bahkan ia
mengharapkan aku untuk bisa menang di kejuaraan kali ini. Ia ingin anaknya
menjadi anak yang berprestasi dan membanggakan.
“Terima kasih, Pak, atas dukungan bapak,” ucapku padanya.
“Iyaa. Bapak selalu mendoakan yang terbaik buatmu, Di.”
“Makasih, Pak.”
Kupeluk tubuh renta bapak dengan kuat. Aku sungguh bahagia karena bapak
akhirnya mengerti dengan keinginanku. Tetap bertahan di perguruan pencak silat
dan mewakili universitasku dalam kejurnas.
“Aku sungguh berterima kasih, Pak,” batinku sembari memeluknya.
Kulihat ibuku pun tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat melihat
aku dan bapak yang kini tidak lagi bertengkar. Kulihat senyum bahagia di
wajahnya. Hari ini aku pamit pada mereka. Aku akan tinggal selama beberapa hari
di Jakarta. Berjuang sekuat tenaga demi meraih kemenangan. Untuk universitasku,
untuk perguruanku, dan untuk membanggakan orang tuaku.
--
Sorak sorai penonton di gelanggang Jakarta begitu ramai. Karena
hari ini ada pertandingan babak final untuk fight. Aku berhasil masuk ke
babak final di kejuaraan ini. Tinggal satu langkah lagi untuk meraih harapan
untuk membanggakan almamater, perguruan, dan orang-orang yang aku sayangi.
Pertandingan pun dimulai. Dengan cepat dan penuh semangat, aku
lancarkan serangan berupa pukulan dan tendangan ke arah lawanku. Lawanku
mencoba membalas seranganku dengan memberikan tendangan keras tepat mengenai
dadaku.
“Brakk..”
Aku terjatuh. Kejatuhanku ini membuat lawanku mendapatkan poin
besar dalam pertandingan ini. Sementara aku mulai merasa sesak di bagian
dadaku. Walau aku menggunakan body-protector dalam pertandingan ini,
tendangan keras darinya tetap terasa. Membuat dadaku sungguh terasa sesak. Pandanganku
pun mulai kabur, kepalaku pening, karena kepalaku sempat terbentur ke bawah.
Bayangan ayahku terlintas dalam pikiranku. Kuingat ia ingin aku
menang dalam pertandingan ini dan membuatnya bangga. Walau banyak tenaga yang
sudah terkuras karena sesi sebelumnya dan perlawanan saat aku terjatuh tadi,
aku kembali bangkit dan melanjutkan pertandingan ini. Dengan sekuat tenaga, aku
kembali bangkit. Kembali kuhantamkan serangan pada lawanku. Dan kembali lagi
terdengar suara keras di atas matras.
“Brakk..”
Sesosok tubuh terjatuh ke atas matras. Aku berhasil membanting
lawanku hingga jatuh dan mendapatkan poin. Dan akhirnya, pertandingan ini
berhasil aku menangkan. Aku sungguh bahagia bisa memenangkan pertandingan ini.
Kini, orang tuaku bisa tersenyum bangga karena anaknya telah menorehkan
prestasi membanggakan. Mataku pun mulai berair, tak kuasa menahan haru bahagia
karena kemenangan ini.
Sungguh aku tak percaya. Aku bisa meraih medali emas. Perjuanganku
selama ini tidak sia-sia. Setiap hari aku habiskan waktu untuk berlatih dengan
keras. Menghabiskan sebagian besar waktuku, sampai mengesampingkan skripsiku. Semua
itu terbayar sudah dengan hasil yang kuraih saat ini. Aku sungguh bahagia.
--
Keesokan harinya, aku dan tim rombongan dari universitasku kembali
ke Jogja. Dengan medali emas di tangan, kami kembali ke jogja dengan penuh
semangat dan kegembiraan. Kami bisa mempersembahkan medali emas ini untuk
almamater tercinta dan tentu saja perguruan.
Sesampainya di rumah, kulangkahkan kakiku perlahan memasuki rumah.
Kulihat bapak, ibu, dan adik-adikku semuanya berkumpul di ruang tamu.
“Assalamu’alaikum,” ucapku dengan penuh semangat.
“Wa’alaikumussalam.” semua orang sontak menengok ke arahku.
Aku langsung menghampiri mereka. Kucium dan kupeluk tangan ibu yang
juga menghampiriku. Kemudian kuhampiri bapakku yang sedang duduk di sofa ruang
tamu dan kucium tangannya.
“Aku menang, Pak.” Ucapku setelah mencium tangannya.
“Selamat, Di. Bapak bangga sama kamu,” ucapnya.
“Medali ini buat bapak. Maaf kalau selama ini aku masih belum bisa
bikin bapak bangga,” ucapku padanya.
“Bapak bangga kok sama kamu, Di. Kamu bisa menang saja sudah bikin
bapak bangga. Bapak bangga punya anak yang berprestasi seperti kamu.”
Aku sungguh bahagia sekali mendengarkan ucapan bapak padaku.
“Selanjutnya selesaikan skripsimu dengan baik, ya,” ucap bapak
padaku.
“Hahahahaa..” Kami semua sontak tertawa karena ucapan yang
tiba-tiba terlontar dari mulut bapak. Tentu saja ia masih ingat dengan
keinginannya agar aku cepat lulus.
“Siap, Pak! Setelah ini aku akan berjuang menyelesaikan skripsiku,”
jawabku yakin.
Kulihat senyum bahagia terpancar dari wajah bapakku. Aku bahagia
melihatnya dan aku pun bisa tersenyum saat ini. Mulai sekarang, aku akan
memfokuskan diriku untuk menyelesaikan skripsiku. Melanjutkan perjuangan demi
membahagiakan orang tuaku.
Lakukan dengan penuh semangat! Lakukan dengan ikhlas! Karena hidup
memang harus diperjuangkan. Hidup itu bagaikan mendaki sebuah gunung. Mungkin
jalan yang kita lalui tak selamanya mulus dan rata. Seringkali kita akan
melewati jalan yang penuh kerikil dan batu tajam, bahkan jalan tanjakan yang
terjal sekalipun. Tapi selama kita punya keyakinan, dan melakukannya dengan
penuh semangat dan ikhlas, kita pasti bisa melalui semua itu, hingga kita bisa sampai
pada puncak tujuan kita. Selalu perjuangkan harapan itu dan jangan pernah
menyerah. Jadilah pejuang harapan yang tak pernah lelah berjuang. Terus
langkahkan kaki ke depan. Walau terkadang terasa lelah, tetaplah melangkah,
walau pelan. Suatu saat kita akan sampai di puncak harapan yang kita
perjuangkan. Be a fighter!
Dian Nasuha
Sastra Arab 2010
2 komentar
kenapa nggak pake ini mbak?
BalasHapushttp://rendixalextian.blogspot.com/2013/04/cara-menyingkat-posting-dengan-read-more.html
Weheee, be a fighter, yan!!
BalasHapus