Be a Fighter!

Maret 20, 2014

Lagi-lagi, saya membuka dan membaca catatan-catatan lama saya yang ada di laptop. Dan saya nemu sebuah sebuah tulisan yang membuat saya senyum-senyum sendiri saat membacanya. Mau tau itu tulisan apa? hehe. Itu adalah sebuah tulisan yang saya buat untuk tugas matakuliah menulis kreatif di semester 4. Tulisan ini, kata penulisnya sih berupa cerpen, tapi setelah dibaca, kok malah seperti sebuah catatan perjalanan hidup penulisnya. hahaha. Enggak juga sih. Karena ini cerpen, jadinya ya tetep ditambahkan bumbu ini dan itu biar lebih sedap.

Setelah membaca ulang cerpen ini, saya menyadari bahwa Merpati Putih begitu menginspirasi saya untuk menulis cerpen ini. Sebagian besar materi cerita dalam cerpen ini pun berasal dari pengalaman saya selama bergabung di Merpati Putih. Entah itu, berupa pengalaman ketika peserta latihan harus lari 2 putaran boulevard dalam waktu 8 menit setiap kali latihan rutin, ataupun perjalanan menyusuri Gunung Butak sampai ke Parangkusumo. Bahkan, cerita utama di sini terinspirasi dari kisah beberapa anak MP yang tak kunjung lulus kuliah karna terlalu cinta dengan perguruan. Hahaha. Peace! (^__^)V Saya juga sadar kok kalau sekarang saya udah semester 8. hehe.

Inspirasi saya untuk menulis memang seringkali berawal dari pengalaman-pengalaman yang saya alami, terkadang pengalaman teman di sekitar saya juga sih, yang sering menceritakannya lewat obrolan-obrolan. Jadi, jangan heran kalau saya seringkali diam saat kalian ngobrol ini dan itu. Saya tetap mendengarkan sembari mengamati kalian. Saya merekam dengan baik setiap hal yang kalian perbincangkan. hahaha.

Oke. Langsung saja baca sendiri cerpennya. Kalau mau. hahaha. Dikomentari juga boleh, karena saya yakin cerpen ini masih punya banyak kekurangan di mana-mana. Ya wajarlah, dulu bikinnya aja pake sistem kebut semalam. hahaha.

Monggo.. Check this out!

 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Be a Fighter!

“Yudi! Bangun, Di. Sudah jam setengah enam,” teriak ibu kesal, membangunkanku.
“Bentar lagi, Bu,” sahutku malas.
“Cepat, bangun! Kamu belum sholat shubuh.” Lagi-lagi ibu menarik selimutku demi membangunkanku.
Suasana pagi ini memang sangat nyaman untuk kembali berselimut dan tidur. Hujan lebat yang mengguyur kota Jogja pagi ini membuatku semakin tidak mau lepas dari selimutku. Akan tetapi, karena selalu diteriaki ibuku, aku pun dengan sedikit terpaksa akhirnya bangun juga, lalu bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, lalu sholat shubuh. Setelah sholat shubuh, seperti biasanya, aku tidur lagi karena hari ini adalah hari Sabtu. Bagiku, hari Sabtu adalah hari paling tenang sedunia karena di hari Sabtu lah, aku dapat melakukan apapun yang aku sukai, tanpa terbebani dengan rutinitas kegiatan kuliah.
Tiba-tiba handphone-ku berdering keras, memutarkan ringtone yang sontak membuatku terbangun dari tidurku. Ku tengok jam dinding yang ada di kamarku.
“Sudah jam 8 pagi rupanya,” batinku sembari bangun dari tempat tidurku.
Aku teringat pagi ini ada latihan tambahan bersama mas Danang di rumahnya. Mas Danang adalah seniorku sekaligus pelatih di perguruan pencak silat yang aku ikuti, sebuah perguruan pencak silat asli Jogja, daerah kelahiranku. Tak terasa empat tahun sudah aku bergabung bersama perguruan ini.
Setelah selesai bersiap-siap, aku menuju ke arah dapur. Kulihat ibuku baru saja selesai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Sembari tersenyum, aku langsung menghampiri ibuku.
“Pagi, Bu,” salamku padanya.
“Tumben, jam segini udah bangun?” ucapnya.
“Yah, Ibu. Giliran liat anaknya bangun pagi dibilangin kaya gitu.”
“Yaa, gak biasa aja kamu bangun pagi, padahal kan sekarang hari Sabtu. Kuliahmu libur tho?” tanyanya memastikan.
“Iyaa sih libur, tapi aku ada acara, Bu.”
“Emang mau ke mana?” tanyanya kembali padaku.
“Mau ke rumah Mas Danang, Bu.”
“Ngapain?” Tiba-tiba bapak datang menghampiri sembari melontarkan pertanyaan itu padaku.
“Ada latihan tambahan, Pak,” jawabku padanya.
“Kamu ini kalau latihan silat semangat sekali, tapi kalau ngerjain skripsi gak ada semangatnya sama sekali,” sindir bapak padaku.
“Aku mau ada tanding lagi, Pak,” jawabku.
“Tanding-tanding terus, kapan mulai ngerjain skripsinya?” kembali ia menyindirku.
Aku hanya diam sambil melemparkan senyum nakal padanya. Aku sadar kalau saat ini aku sudah menginjak semester 8. Kuliahku sungguh keteteran karena waktuku banyak tersita untuk latihan setiap harinya. Tapi, saat ini, aku sungguh harus berfokus di pencak silat, karena aku harus mewakili universitasku dalam kejurnas di Jakarta yang akan diadakan empat bulan ke depan.
Selesai sarapan, aku langsung berpamitan. Kucium tangan bapak dan ibu. Lalu bergegas dengan motorku menuju rumah Mas Danang yang berada di Jakal, yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumahku. Sesampainya di sana, kulihat beberapa teman sedang berlatih sendiri. Setelah memarkirkan motor, aku langsung bergabung dengan mereka. Setelah semua berkumpul, kami mengambil sikap doa dengan menempelkan kedua telapak tangan dan meletakkannya di depan dada. Kemudian, kami melanjutkan dengan peregangan dan juga lari dua putaran di sekitar rumah mas Danang. Lari merupakan salah satu ritual wajib yang harus kami lakukan sebelum berlatih karena dengan terbiasa berlari, stamina kita akan semakin meningkat karena telah terbiasa.
“Ayo, siap lari 2 putaran, 8 menit yaa,” ucap Mas Danang.
Kami semua pun segera berlari, melewati jalan yang masih berupa tanah yang ditumbuhi beberapa rumput kecil. Tanah yang masih basah karena hujan tadi pagi membuat telapak kakiku merasakan dinginnya tanah yang masih lembab ini.
Dua putaran sudah aku berlari, bulir keringat sudah mulai membasahi muka dan badanku. Sesampainya kembali di rumah mas Danang, aku langsung kembali melakukan peregangan. Kulihat beberapa teman yang tadi tertinggal di belakang. Karena melebihi batas waktu, mereka mendapatkan bonus 20x3, yaitu 20x push up, 20x sit up, dan 20x back up. Ya, memang seperti inilah kami dilatih. Kami dilatih agar memiliki stamina yang bagus. Dengan latihan yang diadakan secara rutin, kami diharapkan memiliki stamina yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Pada latihan kali ini kami terus berlatih untuk meningkatkan stamina, power, teknik, serta kelincahan gerak dalam menguasai pertandingan. Sebagai senior di perguruan ini, Mas Danang tak pernah pelit membagi pengalaman kepada yang lain, terutama demi kemajuan perguruan ini.
Latihan hari ini pun selesai sudah. Tiba-tiba seorang temanku datang menghampiriku.
“Mas Yudi, kapan wisudanya?” tanyanya padaku.
Aku terkejut dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan padaku. Pertanyaan yang begitu menyindirku.
“Hehe.. bentar lagi juga wisuda kok,” jawabku sembari bercanda.
“Emang skripsinya udah selesai, Mas?” tanyanya lagi padaku.
“Belum sih, aku masih mau buat proposal baru. Proposal yang terakhir kemarin ditolak mentah-mentah oleh pembimbingku.”
“Yaah, mas Yudi, nih. Keren sih keren bisa terpilih mewakili universitas di Kejurnas nanti. Tapi kok skripsinya gak kelar-kelar, Mas? Hehe..” ucapnya sambil tertawa nakal.
“Yah, mau gimana lagi, gak usah buru-buru pengen lulus laah, santai aja,” tanggapku.
Aku tetap melemparkan senyum dan candaan padanya, walau sebenarnya dalam hati ada rasa kecewa pada diri sendiri yang belum bisa menyelesaikan skripsiku. Ah, bahkan aku belum memulainya.
--
Hari-hari berikutnya, hampir setiap sore aku menghabiskan waktuku untuk berlatih tambahan. Sore ini, aku kembali pamit pada bapak dan ibu untuk mengikuti latihan tambahan. Latihan kali ini bertempat di gelanggang mahasiswa universitasku.
“Kamu mau ke mana lagi, Di?” tanya bapak padaku.
“Mau latihan silat lagi, Pak.” Jawabku.
“Silat lagi, silat lagi. Kamu ini kapan bisa lulus, kalau selalu sibuk di silat terus? Bapak ini sudah capek mengurusi kamu untuk bisa sekolah tinggi-tinggi, tapi nyatanya kamu belum bisa juga lulus sampai sekarang?”
“Terus bapak maunya gimana?” tanyaku padanya.
“Yaa, Bapak pengen kamu ini cepat lulus kemudian bantu adik-adikmu untuk sekolah sampai tinggi juga. Buat apa sih kamu latian silat setiap hari? Padahal skripsimu saja keteteran.”
“Pak, aku ini bakal mewakili universitasku untuk kejuaraan, harusnya Bapak bangga lah punya anak sepertiku,” ucapku padanya.
“Bangga bagaimana? Kamu ini sudah semester 8, tapi belum bisa lulus juga. Kalau semester ini kamu belum bisa lulus, bapak sungguh tidak tahu, apakah masih bisa membiayai kuliahmu atau tidak. Bulan depan Bapak pensiun, Di. Kamu harus cepat lulus dan membantu biaya pendidikan adik-adikmu.”
“Iyaa. Aku  tahu itu, Pak. Tapi untuk saat ini, aku sungguh tidak bisa begitu saja meninggalkan pencak silat untuk menyelesaikan skripsiku. Aku harus berlatih agar bisa menang, Pak. Aku harap Bapak mengerti.”
“Ya sudahlah, terserah kamu!” Jawab bapak dengan nada marah dan kesal.
Aku langsung pergi dengan segenap perasaan kesal karena bapak yang terus memaksaku untuk cepat menyelesaikan skripsi dan lulus. Aku sadar, kalau aku masih punya adik-adik yang harus aku bantu. Tapi, untuk saat ini, aku sungguh belum bisa membantu mereka. Aku masih harus berjuang untuk kejuaraan nanti.
Dalam hati aku bertekad, “Kejuaraan kali ini aku harus menang.”
Desakan dari Bapak yang mendorongku untuk cepat lulus seringkali menghantui pikiranku. Seringkali aku tak fokus saat berlatih karena memikirkan masalah ini. Bulan depan bapak akan pensiun. Nanti aku harus berjuang lebih keras untuk membiayai kuliahku jika aku tak kunjung lulus.
--
Seusai latihan, aku kembali pulang ke rumah. Dengan muka suram, aku langsung menuju ke kamarku. Kemudian kudengar suara ibu memanggilku.
“Yudi,” panggil ibu, “Ibu boleh masuk?”
“Iyaa. Masuk aja, Bu.”
“Gimana tadi latihan silatnya?” tanyanya padaku.
“Biasa aja, Bu.” Jawabku tak bersemangat.
“Tadi sore, bapak marah lagi ya sama kamu?”
“Gak tau, Bu. Bapak selalu mendesak buat cepat-cepat lulus terus. Aku bosan mendengarnya.”
“Maksud bapakmu itu sebenarnya baik, Di. Dia itu ingin kamu jadi orang yang berguna dan bisa membantu adik-adikmu. Kamu sudah tahu kan, kalau bulan depan bapakmu itu akan pensiun?”
“Iyaa. Aku tahu, Bu. Tapi seharusnya bapak tidak begitu mudahnya menyuruhku untuk berhenti dari pencak silat dan fokus ke skripsiku.”
“Iyaa, Ibu ngerti. Tapi kamu juga harus bisa membagi waktumu dengan baik, Di. Ibu tahu kamu sangat suka dengan kegiatan di pencak silat. Tapi skripsimu kalau bisa jangan sampai keteteran gitu. Bapak juga sudah tua. Mungkin dia sudah merasa lelah. Dia menaruh harapan besar padamu, Di. Sebagai anak sulung, kamu masih punya adik-adik yang harus kamu bantu.”
“Iyaa, Bu. Aku tahu itu.”
“Ya sudah. Ayo cepat bersihkan dirimu, waktu sholat maghrib sudah dari tadi.”
“Iyaa, Bu,” jawabku seraya menganggukkan kepala.
--
Tak terasa, sebulan sudah waktu berlalu. Mulai hari ini bapak telah resmi pensiun dari pekerjaannya. Aku masih mengingat perkataan bapak waktu itu. Bapak yang terus mendesakku untuk segera lulus. Aku masih terus memikirkan perkataannya saat itu. Akan tetapi, di semester ini, aku sungguh belum bisa memenuhi keinginan bapak untuk bisa lulus di semester ini. Aku sungguh telah mengecewakannya.
Saat akan kembali berangkat untuk latihan, kulihat bapak sedang duduk di kursi ruang tengah sembari menonton televisi bersama ibu dan adik-adikku. Aku pamit pada mereka. Kembali kucium tangan bapak dan ibuku.
“Maafkan aku, Pak,” ucapku dalam hati, saat kucium tangan ayahku.
Ayahku hanya melemparkan senyum kecil padaku. Lalu, kucium tangan ibuku dan berpamitan padanya. Aku pun meninggalkan rumah dan kembali menuju tempat latihan.
--
Seusai latihan, aku berniat untuk meminta saran pada Mas Danang. Bagiku, mas Danang sudah seperti sosok kakak. Ia selalu memberikan saran-saran bijak setiap kali aku mempunyai masalah. Ia adalah pendengar yang baik, yang selalu mau mendengarkan curhatan-curhatanku.
Nopo, Di? Kowe arep cerito opo?”[1] tanyanya sambil tersenyum padaku.
Piye yo Mas. Bapakku ki pengen aku cepat lulus, tapi aku gak lulus-lulus, skripsi wae belum rampung, Mas.”[2] Jawabku.
“Yo, berarti kamu belum bisa mengatur waktu dengan baik, Di,” tanggapnya, “Kamu semester berapa tho sekarang? Delapan ya?”
“Iya, Mas. Aku wis semester delapan. Mestinya sih aku lulus semester sekarang, tapi belum bisa, Mas.”
“Lha kenapa belum bisa? Yo, ndang digarap skripsine!”[3]
“Iya mas, masih dalam proses, hehehe.”
“Yang namanya orang tua itu, Di, wajar kalau pengen anaknya cepet lulus. Kamu kan anak sulung tho? Pasti bapakmu iku naruh harapan besar sama kamu, Di.”
“Iyaa, mas Danang. Tapi yang jadi masalahnya itu, sekarang bapak udah pensiun. Mulai semester depan mungkin bapak gak bisa lagi membiayai kuliahku, Mas. Aku mesti nyari kerjaan buat bayarin uang kuliahku sendiri.”
“Lha, itu kamu udah tahu sendiri solusinya.”
“Yaa tapi kan aku masih belum tau, Mas, mau kerja apaan. Sekarang-sekarang aja kan sibuk latihan silat terus tiap hari.”
Yowis, ndang luru gawean![4] Di jogja ada banyak tho yang butuh part-timer? Nah, kamu tinggal cari aja yang waktunya sesuai sama kamu,” sarannya.
“Iya, Mas.”
Yowis, ayo magriban sek.”[5]
“Iya, Mas.”
Berbicara dengan mas Danang memang selalu membuatku lebih merasa tenang, walau tidak banyak saran yang ia berikan. Tetapi, dengan mau mendengarkan sedikit ceritaku, aku sudah merasa senang dan aku bisa merasa lebih lega.
--
Kesokan harinya, aku mencoba mencari-cari informasi tentang kerja part-time di sekitar Jogja. Setelah mendapatkan informasi dari beberapa teman, akhirnya aku mendapat satu pekerjaan yang cocok untukku. Menjadi penjaga warnet. Ya, itu pekerjaan yang paling cocok untukku saat ini.
Setiap selesai latihan silat, aku menghabiskan waktuku untuk bekerja menjaga warnet dari jam 7 malam sampai jam 2 dini hari. Hasil yang didapatkan memang tidak seberapa, tapi itu cukup membantu mencukupi keperluanku. Sebagian besar dari gajiku aku tabungkan untuk membayar biaya kuliah. Mulai saat ini, aku harus bisa mandiri dan melakukan semua ini dengan ikhlas dan tetap semangat.
Sumbangsihku tak berarti, namun keikhlasanku nyata.
Layaknya slogan perguruan pencak silat ini, aku ingin membantu adik-adikku dan membahagiakan kedua orang tuaku. Mulai saat ini, aku akan berjuang melakukan semua ini dengan penuh semangat, berjuang menyelesaikan skripsiku, sembari terus berlatih dan mempersiapkan diri untuk kejuaraan. Melakukan dengan sepenuh hati dan ikhlas agar orang tuaku bangga terhadapku.
--
Hari yang di nanti-nanti akhirnya datang juga. Pagi ini aku berpamitan pada bapak dan ibu. Aku akan berangkat ke Jakarta pagi ini, berjuang mewakili universitasku di kejurnas tahun ini.
“Pak, Bu. Aku pamit yaa. Doakan aku.” Kucium tangan kedua orangtuaku.
“Iyaa, sukses yaa, Nak. Kamu harus menang. Buat Bapak bangga dengan prestasimu!” ucap bapak.
“Iya, Pak. Aku akan buat bapak bangga dengan Yudi,” ucapku.
Tak kusangka, bapak mendukungku. Bapak yang selalu marah setiap kali aku sibuk dengan latihan silat kini memberikan dukungan padaku. Bahkan ia mengharapkan aku untuk bisa menang di kejuaraan kali ini. Ia ingin anaknya menjadi anak yang berprestasi dan membanggakan.
“Terima kasih, Pak, atas dukungan bapak,” ucapku padanya.
“Iyaa. Bapak selalu mendoakan yang terbaik buatmu, Di.”
“Makasih, Pak.”
Kupeluk tubuh renta bapak dengan kuat. Aku sungguh bahagia karena bapak akhirnya mengerti dengan keinginanku. Tetap bertahan di perguruan pencak silat dan mewakili universitasku dalam kejurnas.
“Aku sungguh berterima kasih, Pak,” batinku sembari memeluknya.
Kulihat ibuku pun tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat melihat aku dan bapak yang kini tidak lagi bertengkar. Kulihat senyum bahagia di wajahnya. Hari ini aku pamit pada mereka. Aku akan tinggal selama beberapa hari di Jakarta. Berjuang sekuat tenaga demi meraih kemenangan. Untuk universitasku, untuk perguruanku, dan untuk membanggakan orang tuaku.
--
Sorak sorai penonton di gelanggang Jakarta begitu ramai. Karena hari ini ada pertandingan babak final untuk fight. Aku berhasil masuk ke babak final di kejuaraan ini. Tinggal satu langkah lagi untuk meraih harapan untuk membanggakan almamater, perguruan, dan orang-orang yang aku sayangi.
Pertandingan pun dimulai. Dengan cepat dan penuh semangat, aku lancarkan serangan berupa pukulan dan tendangan ke arah lawanku. Lawanku mencoba membalas seranganku dengan memberikan tendangan keras tepat mengenai dadaku.
“Brakk..”
Aku terjatuh. Kejatuhanku ini membuat lawanku mendapatkan poin besar dalam pertandingan ini. Sementara aku mulai merasa sesak di bagian dadaku. Walau aku menggunakan body-protector dalam pertandingan ini, tendangan keras darinya tetap terasa. Membuat dadaku sungguh terasa sesak. Pandanganku pun mulai kabur, kepalaku pening, karena kepalaku sempat terbentur ke bawah.
Bayangan ayahku terlintas dalam pikiranku. Kuingat ia ingin aku menang dalam pertandingan ini dan membuatnya bangga. Walau banyak tenaga yang sudah terkuras karena sesi sebelumnya dan perlawanan saat aku terjatuh tadi, aku kembali bangkit dan melanjutkan pertandingan ini. Dengan sekuat tenaga, aku kembali bangkit. Kembali kuhantamkan serangan pada lawanku. Dan kembali lagi terdengar suara keras di atas matras.
“Brakk..”
Sesosok tubuh terjatuh ke atas matras. Aku berhasil membanting lawanku hingga jatuh dan mendapatkan poin. Dan akhirnya, pertandingan ini berhasil aku menangkan. Aku sungguh bahagia bisa memenangkan pertandingan ini. Kini, orang tuaku bisa tersenyum bangga karena anaknya telah menorehkan prestasi membanggakan. Mataku pun mulai berair, tak kuasa menahan haru bahagia karena kemenangan ini.
Sungguh aku tak percaya. Aku bisa meraih medali emas. Perjuanganku selama ini tidak sia-sia. Setiap hari aku habiskan waktu untuk berlatih dengan keras. Menghabiskan sebagian besar waktuku, sampai mengesampingkan skripsiku. Semua itu terbayar sudah dengan hasil yang kuraih saat ini. Aku sungguh bahagia.
--
Keesokan harinya, aku dan tim rombongan dari universitasku kembali ke Jogja. Dengan medali emas di tangan, kami kembali ke jogja dengan penuh semangat dan kegembiraan. Kami bisa mempersembahkan medali emas ini untuk almamater tercinta dan tentu saja perguruan.
Sesampainya di rumah, kulangkahkan kakiku perlahan memasuki rumah. Kulihat bapak, ibu, dan adik-adikku semuanya berkumpul di ruang tamu.
Assalamu’alaikum,” ucapku dengan penuh semangat.
Wa’alaikumussalam.” semua orang sontak menengok ke arahku.
Aku langsung menghampiri mereka. Kucium dan kupeluk tangan ibu yang juga menghampiriku. Kemudian kuhampiri bapakku yang sedang duduk di sofa ruang tamu dan kucium tangannya.
“Aku menang, Pak.” Ucapku setelah mencium tangannya.
“Selamat, Di. Bapak bangga sama kamu,” ucapnya.
“Medali ini buat bapak. Maaf kalau selama ini aku masih belum bisa bikin bapak bangga,” ucapku padanya.
“Bapak bangga kok sama kamu, Di. Kamu bisa menang saja sudah bikin bapak bangga. Bapak bangga punya anak yang berprestasi seperti kamu.”
Aku sungguh bahagia sekali mendengarkan ucapan bapak padaku.
“Selanjutnya selesaikan skripsimu dengan baik, ya,” ucap bapak padaku.
“Hahahahaa..” Kami semua sontak tertawa karena ucapan yang tiba-tiba terlontar dari mulut bapak. Tentu saja ia masih ingat dengan keinginannya agar aku cepat lulus.
“Siap, Pak! Setelah ini aku akan berjuang menyelesaikan skripsiku,” jawabku yakin.
Kulihat senyum bahagia terpancar dari wajah bapakku. Aku bahagia melihatnya dan aku pun bisa tersenyum saat ini. Mulai sekarang, aku akan memfokuskan diriku untuk menyelesaikan skripsiku. Melanjutkan perjuangan demi membahagiakan orang tuaku.
Lakukan dengan penuh semangat! Lakukan dengan ikhlas! Karena hidup memang harus diperjuangkan. Hidup itu bagaikan mendaki sebuah gunung. Mungkin jalan yang kita lalui tak selamanya mulus dan rata. Seringkali kita akan melewati jalan yang penuh kerikil dan batu tajam, bahkan jalan tanjakan yang terjal sekalipun. Tapi selama kita punya keyakinan, dan melakukannya dengan penuh semangat dan ikhlas, kita pasti bisa melalui semua itu, hingga kita bisa sampai pada puncak tujuan kita. Selalu perjuangkan harapan itu dan jangan pernah menyerah. Jadilah pejuang harapan yang tak pernah lelah berjuang. Terus langkahkan kaki ke depan. Walau terkadang terasa lelah, tetaplah melangkah, walau pelan. Suatu saat kita akan sampai di puncak harapan yang kita perjuangkan. Be a fighter!


Dian Nasuha
Sastra Arab 2010



[1] “Kenapa, Di? Kamu mau cerita apa?”
[2] “Bagaimana ya, Mas? Bapakku Ingin aku cepat lulus, tapi aku tidak lulus-lulus. Skripsi saja belum selesai.”
[3] “Ya cepat dikerjakan skripsinya!”
[4] “Ya sudah. Cepat cari pekerjaan!”
[5] “Ya sudah. Ayo sholat maghrib dulu!”

You Might Also Like

2 komentar

  1. kenapa nggak pake ini mbak?

    http://rendixalextian.blogspot.com/2013/04/cara-menyingkat-posting-dengan-read-more.html

    BalasHapus

Like us on Facebook

Flickr Images